Text
Kedudukan Anak Pasca Penolakan Permohonan Itsbat Nikah
Penulisan tesis ini berawal pada kasus yang terjadi pada masyarakat yang masih banyak melakukan perkawinan hanya mengacu pada terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Agama Islam. Perkawinan ini memang sah menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan namun tidaklah sah menurut Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan karena perkawinan yang dilakukan tidak dicatatkan sehingga mereka tidak mendapatkan akta nikah, perkawinan ini disebut juga sebagai perkawinan sirri. Akta nikah merupakan bukti otentik untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah dan diakui oleh negara. Namun, karena masih banyak masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya, sehingga pemerintah memberikan alternatif bagi mereka yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan akta nikah dengan adanya aturan mengenai Itsbat Nikah yang menyebutkan bahwa bagi mereka yang perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah sebagaimana bunyi Pasal 7 ayat (2) KHI dapat mengajukan Itsba Nikahnya ke Pengadilan Agama setempat. Permasalahan yang sering terjadi dalam mengajukan permohonan penetapan pengesahan Nikah atau Itsbat Nikah ini tidak jarang para pemohon Itsbat Nikah mengalami penolakan oleh Hakim Pengadilan Agama. Dikarenakan banyaknya penolakan maka dalam tesis ini diambil tiga kasus yang juga mendapat penolakan oleh hakim yang diangkat untuk dianalisis yaitu Penetapan 318/Pdt.P/2014/PA.JS, Penetapan 21/Pdt.P/2015/PA.Sgt, dan Penetapan 71/Pdt.P/2016/PA.JS. Tujuan tesis ini adalah menganalisis ratio decidendi hakim dalam menolak permohonan itsbat nikah dan yang kedua untuk menganalisis akibat hukum dari penolakan permohonan Itsbat Nikah terhadap anak. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang- undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil akhir dari penulisan ini adalah ratio decidendi Hakim Pengadilan Agama pada ketiga penetapan ini adalah telah sesuai karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan, sehingga bertentangan dengan Pasal 14 KHI, Pasal 40 huruf a KHI, dan Pasal 9 UU Perkawinan sehingga berdasarkan Pasal 7 ayat (3) KHI perkawinan tidak dapat disahkan karena terdapat ketidaksesuaian dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI, dan menjadikan status perkawinan menjadi tidak sah, sehingga menjadikan status anak juga menjadi anak yang tidak sah yang berakibat hukum pada hak-hak anak tersebut. Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak ke Pengadilan Agama berdasarkan putusan MK Nomor 46 Tahun 2010.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain