Karya Ilmiah
DISERTASI (356) - Sistem Penuntutan Tunggal (Single Prosecution System) Dalam Perkara Pidana
Pelaksana kekuasaan penuntutan di Indonesia juga dilakukan oleh lembaga selain Kejaksaan, yakni KPK dan Oditur Militer yang masing-masing melakukan penuntutan secara sendiri-sendiri (trialisme penuntutan) sehingga mengakibatkan disparitas penuntutan perkara pidana, yakni penerapan hukum yang berbeda-beda dalam perkara pidana. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian yang mendalam guna mendapatkan pemahaman mengenai sistem penuntutan perkara pidana di Indonesia, serta menemukan dan menganalisa urgensi pengaturan asas penuntutan tunggal pada lembaga Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, perbandingan, kasus, dan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak Indonesia merdeka sampai saat ini mengatur mengenai sistem penuntutan tunggal atau single prosecution system sebagai pelaksanaan asas penuntutan tunggal yang menempatkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan penuntutan kepada negara. Asas penuntutan tunggal merupakan asas hukum yang berlaku secara universal dan memiliki aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, serta diakui keberadaannya dalam konstitusi beserta peraturan turunannya di beberapa negara. Adapun model pelaksanaan asas penuntutan tunggal meliputi sistem penuntutan tunggal murni (Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan), sistem penuntutan tunggal tidak murni (lembaga penuntutan lainnya bertanggungjawab dan berkoordinasi kepada Jaksa Agung), sistem penuntutan tunggal dalam arti sempit (kebijakan an sich penuntutan), dan sistem penuntutan tunggal dalam arti luas (kebijakan penuntutan meliputi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan upaya hukum). Idealnya, sistem peradilan pidana Indonesia menerapkan model sistem penuntutan tunggal dalam arti luas dan model sistem penuntutan tunggal tidak murni sehingga pelaksanaan kewenangan penuntutan yang dilakukan oleh KPK dan Oditurat Militer bertanggung jawab kepada Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi yang mengendalikan kekuasaan penuntutan. Selain itu, kebijakan penuntutan dengan model demikian dapat mencakup fungsi penyidikan sehingga pelaksanaan penuntutan dapat berjalan efektif. Penuntutan tidak dapat dilepaskan dari fungsi penyidikan karena penuntut umum-lah yang akan mempertanggungjawabkan hasil penyidikan. Melalui asas penuntutan tunggal yang menempatkan kendali pemegang kebijakan penuntutan kepada Jaksa Agung dapat mewujudkan persamaan penerapan hukum dalam proses peradilan dan menghindarkan terjadinya disparitas penuntutan yang merupakan akibat dari trialisme penuntutan. Dalam rangka penguatan kekuasaan penuntutan secara fungsional maka asas sistem penuntutan tunggal harus diatur dalam revisi KUHAP, revisi UU KPK, revisi UU Peradilan Militer, serta pembentukan undang-undang kekuasaan penuntutan dan pengaturannya dalam UUD 1945 sehingga satu kesatuan tindakan dan kebijakan di bidang penuntutan dapat diwujudkan.
Kata Kunci : Asas Penuntutan Tunggal, Single Prosecution System, Jaksa Agung.
031517017329 | 356 Ban s | Ruang Disertasi | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain