Karya Ilmiah
TESIS (4260) - Kedudukan Perjanjian Tata Tertib Perundingan Perjanjian Kerja Bersama Dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
Hubungan industrial tidak selamanya tercipta dalam keadaan yang harmonis, akan tetapi sering dijumpai perselisihan-perselisihan antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja/buruh di dalamnya. Salah satunya dalam pembuatan perjanjian-perjanjian ketenagakerjaan, khususnya dalam perjanjian kerja bersama. Dalam penelitian ini menjawab dua pertanyaan perihal pembuatan perjanjian kerja bersama. Yang pertama ialah perihal kedudukan tata tertib perundingan sebagai sebuah prasyarat pembentukan perjanjian kerja bersama. Apakah sebuah tata tertib perundingan yang telah dibuat oleh para pihak menjadi sebuah perjanjian menurut 1320 BW? Dan apakah para pihak tidak terikat oleh tata tertib tersebut. Kedua, yakni bagaimana kondisi kebuntuan itu bisa terjadi, apa itu konsep kebuntuan dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang menggunakan studi kepustakaan berupa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial, Peraturan Perundang-Undangan terkait, dan literature yang berhubungan dengan penelitian. Dari analisis dapat diketuhui bahwa tata tertib perundingan yang diatur dalam Pasal 21 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2016 merupakan sebuah perjanjian yang sesuai dengan Pasal 1320 BW, sehingga Pasal 1338 ayat (1) BW berlaku terhadap para pihak yang membuatnya. Kedua, bahwa kondisi kebuntuan tidak diatur secara rinci dalam perundang-undangan, sehingga dipakai konsep umum sebuah kebuntuan. Sehingga Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor Putusan Mahkamah Agung Nomor 388 K/Pdt.Sus-PHI/2018 Jo. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Gresik Nomor 16/Pdt.sus-PHI/2017/PN.Gsk yang mengatakan bahwa kondisi kebuntuan belum tercapai tidaklah tepat karena para pihak tidak mencapai titik temu hingga berakhirnya waktu perundingan. Berdasarkan analisis tersebut, disarankan untuk para pihak dalam membuat tata tertib harus lebih rinci dalam menentukan pasal di dalamnya, sehingga tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. yang kedua ialah agar kualifikasi kebuntuan diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan.
031914153047 | 4260 Aut k | Ruang Tesis | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain