Karya Ilmiah
TESIS (2519) - Pencabutan Hak Politik Dalam Putusan Mahkamah Agung Perkara Pidana No. 1195K/PID.SUS/2014
Masalah tindak pidana korupsi adalah masalah yang sangat dibenci oleh seluruh
masyarakat Internasional termasuk masyarakat Indonesia Korupsi dapat dilihat dengan mata
telanjang diberbagai institusi, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif atau dengan kata lain
terjadi di sektor publik yakni melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan publik atau pejabat
pemerintah sehingga sering disebut sebagai kejahatan jabatan (occupational crime).
Untuk memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi tentu perlu
dilakukan penerapan sanksi yang ekstra karena kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime). Pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak
terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan,
hak-hak sipil (perdata) dan hak-hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-hak tertentu dalam
perkara tindak pidana korupsi di atur dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.
Pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada Luthfi Hasan Ishaaq
merupakan sarana untuk menanggulangi tindak pidana korupsi yang memiliki efek penjeraan
bagi terpidana dan pencegahan bagi masyarakat. Putusan pencabutan hak politik itu telah
mengakomodasi fakta atas terjadinya perilaku privatisasi dan personalisasi kekuasaan oleh
Luthfi Hasan Ishaaq sebagai pejabat publik yang dilakukan secara melawan hukum dan
transaksional.
Pencabutan hak politik menjadi sia-sia untuk terpidana yang terjerat perkara dengan
ancaman lebih dari 5 tahun karena seseorang yang terjerat perkara dengan ancaman lebih dari
5 tahun akan secara otomatis tidak diperbolehkan mencalonkan diri untuk menduduki jabatan
publik yang diperoleh dari pemilihan umum.
031214153065 | 2519 | Ruang Tesis | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain