Karya Ilmiah
TESIS (1322) - Upaya Hukum Kasasi Oleh Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas di Tingkat Pengadilan Negeri
Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas
hukum, menurut teori positifisme menurut Hans Kelsen pada dasarnya hakim
hanya sebagai corong Undang-undang. Demi keadilan dan kepastian hukum,
putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya
terdapat kekhilafan atau kekeliruan. Hukum menyediakan upaya perbaikan atau
pembatalan putusan guna mencegah dan memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan
suatu putusan hakim. Pada dasarnya KUHAP telah menetapkan larangan
berkaitan dengan kewenangan untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap
putusan bebas maka akan menimbulkan pertanyaan apakah penuntut umum
(sebagai kepanjangan tangan dari korban) berhenti di pengadilan tingkat pertama
saja apabila terdapat kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Sungguh suatu
ironi, jika demi menjaga suatu kepastian hukum, nilai keadilan harus dikorbankan.
Namun dalam hal ini penuntut umum berpendapat bahwa masih ada upaya hukum
yang sandarkan kepada asas hukum yang mendalilkan bahwa peraturan yang tidak
adil tidak perlu dipatuhi (ius contra legem).putusan bebas dibedakan menjadi dua
yaitu putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni. Alasan kasasi yang
dapat dibenarkan pasal 253 ayat (1) KUHAP terdiri dari : apakah benar suatu
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya,
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan UU dan
apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Dalam hal kasasi
terhadap putusan bebas, dalam memori kasasinya, penuntut umum harus dapat
membuktikan bahwa putusan PN merupakan putusan bebas tidak murni.
Konstruksi putusan bebas murni dan bebas tidak murni merupakan hak
prerogatif Mahkamah Agung. Ratio Legis yang digunakan MA untuk
menjustifikasi kasasi terhadap putusan bebas tidak murni ialah meskipun pasal
244 KUHAP tidak memperbolehkan pengajuan kasasi terhadap putusan bebas,
namun tidak demi tegaknya kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and
justice) barangkali dapat dikatakan tindakan itu masih berada dalam batas
kerangka penafsiran yang dibenarkan teori dan praktek yurisprudensi meskipun
dari perspektif teori hukum di Indonesia tidak menganut asas “the binding force of
precedents” akan tetapi bersifat “persuasieve precedents”.
030810557 | 1322 | Ruang Tesis | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Digudangkan |
Tidak tersedia versi lain