Karya Ilmiah
TESIS (1252) - Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan (Studi Kasus di Kota Surabaya)
Sejak jatuhnya Pemerintah Orde Baru, gelombang reformasi melanda Negara
Indonesia yang menuntut diadakannya perubahan dalam segala tatanan kehidupan
bernegara. Pelaksanaan sistem ketatanegaraan yang semula sentralistik menjadi
desentralistik, dimulai dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dengan titikberat otonomi ada pada pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dalam
Undang-undang ini ditetapkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi kewenangan pemerintah daerah
(Provinsi dan kabupaten/kota). Salah satu urusan pemerintahan yang dilimpahkan
kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya adalah bidang pelayanan
pertanahan. Padahal diketahui, menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. UU Nomor 5
Tahun 1960 jo. Perpres Nomor 10 Tahun 2006, bidang pertanahan merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat (c.q BPN). Dengan demikian telah terjadi tumpang
tindih kewenangan di bidang pertanahan antara Pemerintah Pusat (c.q BPN) dengan
pemerintahan daerah (Provinsi dan Kabupaten/kota).
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) yaitu suatu proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Sedangkan pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach)
terkait dengan pemerintahan daerah dan kewenangan mengurus bidang pertanahan
untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif komparatif.
Kajian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan
menunjukkan bahwa pelimpahan 9 (sembilan) kewenangan bidang pelayanan
pertanahan kepada daerah untuk menjadi urusan pemerintahan wajib melalui UU
Nomor 22 Tahun 1999 jo. UU Nomor 32 Tahun 2004 jo. PP Nomor 38 Tahun 2007
telah melahirkan sikap ambivalen dan inkonsistensi dari Pemerintah pusat. Sikap
Pemerintah Pusat tersebut terutama terkait penerapan asas penyelenggaraannya, yang
semestinya dekonsentrasi dan medebewind menjadi dekonsentrasi dan otonomi.
Selanjutnya implementasi atas 9 kewenangan bidang pelayanan pertanahan tersebut
di Kota Surabaya tidak ditemukan masalah berarti. Hal ini karena bidang pelayanan
pertanahan tersebut tersebar pada beberapa SKPD yang kewenangannya bersesuaian
sebagaimana ditentukan dalam PP Nomor 41 Tahun 2007 jo. Permendagri Nomor 57
Tahun 2007. Sedangkan bidang pelayanan pertanahan yang menjadi tugas dan fungsi
dari Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya termasuk dalam lingkup
urusan pemerintahan sisa, sehingga lebih difokuskan pada pengelolaan asset milik
Pemerintah Kota Surabaya
030810024 | 1252 | Ruang Tesis | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Digudangkan |
Tidak tersedia versi lain