Karya Ilmiah
TESIS (1214) - Yuridiksi Terhadap Cybercrime
Penentuan locus delictie dalam perkara cybercrime berkaitan dengan
penentuan yurisdiksi (cyberjurisdiction) untuk menerapkan hukum pidana suatu
negara serta berkaitan kompetensi pengadilan untuk memeriksa dan mengadili
perkara ( Jus Puniendi ), jika dalam tindak pidana tersebut terdapat satu atau lebih
unsur asing, maka kekuasaan pidana suatu negara tidak dapat secara sepihak
diterapkan begitu saja ketentuan hukum pidana nasionalnya tanpa
mempertimbangkan kemungkinan penerapan hukum pidana negara lain.
Disamping itu, penentuan locus delictie dalam perkara cybercrime sangat sulit
untuk ditentukan, sehingga untuk menentukan locus delictie guna menentukan
yurisdiksi digunakan pendekatan-pendekatan beberapa faktor pendukung
berdasarkan teori-teori yurisdiksi mengingat tindak pidana tersebut dilakukan di
dalam cyberspace yang sifatnya tidak mengenal batas wilayah serta dapat
dilakukan lintas negara, karena orang dapat melakukan tindak pidana cybercrime
dimana saja dan akibat yang ditimbulkan bisa saja terjadi ditempat atau wilayah
lain yang berbeda dengan tempat atau wilayah tindak pidana cybercrime
dilakukan. Menjadi permasalahan adalah tidak jelasnya faktor konstitutif untuk
menentukan yurisdiksi cybercrime, apakah berdasarkan tempat kejadian perkara?
apakah berdasarkan negara tempat pelaku berada? apakah berdasarkan tempat
dimana akibat konstitutif berada atau apakah berdasarkan negara tempat pemilik
komputer yang diserang ? atau keseluruhan faktor tersebut menjadi satu ?. Dalam
penanganan cybercrime banyak negara menggunakan pendekatan berbeda dalam
menerapkan yurisdiksinya, sehingga terkadang menimbulkan konflik yurisdiksi
diantara negara-negara tersebut.
Disamping itu, alat bukti sebagaimana di atur dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP dalam praktik kurang dapat mengakomodir sebagai landasan yuridis
manakala alat-alat bukti yang dipergunakan untuk melakukan pembuktian delik
cybercrime dengan menggunakan media alat bukti digital ( digital evidence ), baik
berupa informasi elektronik maupun dokumen elektronik. Namun, dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ( Selanjutnya disebut UU ITE ), terdapat kepastian hukum
terhadap alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU ITE sehingga
upaya menjerat pelaku cybercrime dapat dilakukan. Hanya saja, tidak semua
informasi maupun dokumen elektronik memiliki integritas dan validitas sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian di persidangan.
Tesis ini merupakan legal research dengan menggunakan metode
pendekatan statute approach, conceptual approach dan comparative approach
dalam tesis ini akan dibahas lebih jauh mengenai penerapan asas yurisdiksi
cybercrime dalam hukum pidana internasional, serta wewenang yurisdiksi yang
dimiliki Indonesia berdasarkan Pasal 2 KUHP serta Pasal 2 UU No.11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penerapan asas yurisdiksi
tersebut didasarkan pada pendekatan asas locus delictie yang diatur dalam Pasal
84 ayat 1 KUHAP dengan pendekatan teori-teori dalam yurisprudensi terkait
penerapan locus delictie tersebut. Disamping itu, mengingat tidak semua
informasi maupun dokumen elektronik memiliki integritas dan validitas sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian di persidangan, maka dalam tesis ini akan
dibahas mengenai standard yang digunakan dalam menilai validitas dan intergritas
suatu bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di persidangan berdasarkan
ketentuan dalam UU ITE serta prosedur yang telah diterapakan secara
internaswional, sehingga penggunaan bukti elektronik dapat secara konsisten
dilakukan. Akhir kata, semoga tesis ini dapat menjadi bacaan yang bermanfaat
dan menambah wawasan bagi pembacanya.
Keywords: Cyber Jurisdiction, Locus Delictie,Digital Evidence, Court Examination
030810558 | 1214 | Ruang Tesis | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Digudangkan |
Tidak tersedia versi lain