Karya Ilmiah
TESIS (1204) - Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah
Dalam perkembangannya, sistem pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah telah bergeser menjadi sistem pemilihan umum, sehingga kini
dikenal dengan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah
(Pemilukada). Penegasan Pemilukada tersebut tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Seiring dengan
pergeseran tersebut, maka kewenangan memutus perselisihan hasil Pemilukada
tersebut saat ini bukan lagi wewenangnya Mahkamah Agung, melainkan telah
beralih menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal
24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI
1945) adalah bersifat limitatif dan tidak terbuka adanya kewenangan lain yang
dapat diperoleh dari undang-undang. Faktanya, Pasal 236C Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 telah memberikan kewenangan memutus perselisihan hasil
Pemilukada tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Memang UUDNRI 1945 telah
memberikan 4 (empat) kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi, salah satunya
adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, akan tetapi yang
dimaksud UUD tersebut adalah bukan termasuk perselisihan hasil Pemilukada.
Tesis ini menganalisa bagaimana konstitusionalitas kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, serta bagaimana
implikasi hukumnya atas penerapan kewenangan mahkamah yang merupakan
peradilan konstitusi tersebut.
090610431 | 1204 | Ruang Tesis | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Digudangkan |
Tidak tersedia versi lain