Karya Ilmiah
TESIS (2356) - Kebijakan Penyidik Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi dalam berbagai bentuknya dialami baik oleh Negara maju maupun Negara
berkembang, tidak ada satu negarapun didunia ini bebas korupsi sama sekali. Namun dinegara
berkembang seperti halnya yang terjadi di Indonesia korupsi ini memang lebih parah.
Dalam sejarah perkembangan perundang undangan yang mengatur korupsi terlihat adanya
upaya upaya yang rasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari peraturan
peraturan yang pernah ada hingga undang undang No. 20 tahun 2001 menunjukkan adanya
perubahan pembaharuan hukum pembaharuan hukum ini tidak hanya terbataspada substansi
atau segi segi materiil dari korupsi saja namun juga hukum formilnya.
Terdapat berbagai kendala ditemui penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi
sehingga mengakibatkan proses hukum tidak pidana korupsi tersebut menjadi tidak jelas atau
tidak berjalan . Penegakan hukum meliputi fungsi refresif dan prepentif. Funsi refresif
mencangkup masalah penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan , melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusanlepas bersyarat,
melengkapi berkas tertentu yang berasal dari Penyidik POLRI dan PPNS serta keperdataan
dan tata usaha negara, sedangkan funsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum
masarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum , pengamanan barang cetakan,
pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan, penyalah gunaan dan atau penodaaan agama
penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal. Kendala yang dihadapi penyidik
dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu kendala yuridis dan non yuridis,
kendala yuridis yaitukendala yang dijumpai dalam peraturan perundang undangan semuanya
terkait ijin dari atasan pejabat yang berwenang sedangkan kendala non yuridis pada intinya
suatu pro9ses yang sudah ditentukan dalam norma norma hukum positif dimana dalam proses
tersebut harus dilalui tahapan tahapan agar penerapan hukum dapat menghasilkan keadilan
dan kepastian huum. Sentralisasi policy penanganan perkara akan menciptakan peluang
adanya intervensi Pimpinan Kejaksaan yang lebih tinggi, bahkan juga penyimpangan pada
level pengendali langsung. Hal yang sama dengan karakter pertanggung jawaban hirarkis.
Yang mebawa konskwensi bahwa semua polisy harus dipertanggung jawabkan kepada
pimpinan . hal ini menyebabkan semua hal harus dimintakan petunjuk dan persetujuan
pimpinan. Sistimkomando juga menempatkan aparat pelaksana sebagai pekerja harus taat
dengan perintah atasannya.
0031141014` | 2356 | Ruang Tesis | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain