Karya Ilmiah
TESIS (1358) - Intersepsi Sebagai Kewenangan Kepolisian Dalam Rangka Penegakan Hukum
Tesis ini membahas tentang konsekuensi yuridis implementasi intersepsi
kepolisian yang bertentangan dengan undang-undang. Adapun metode penelitian
yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif, dengan
menggunakan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Intersepsi merupakan
kewenangan penegak hukum, hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
undang-undang. Implementasi intersepsi terdapat perbedaan yang mendasar antara
Kepolisian, Kejaksaan dengan KPK, perbedaan tersebut antara lain tentang
pengaturan dimulainya kegiatan intersepsi. Sebelum diundangkannya UU No.11
Tahun 2008 tentang ITE, hasil intersepsi yang berupa rekaman percakapan telpon
dimasukkan dalam klasifikasi sebagai alat bukti petunjuk, hal ini didasarkan pada
ketentuan yang tercantum dalam UU No.20 Tahun 2001 Pasal 26 jo Pasal 188
ayat (2) huruf a dan b KUHAP, namun setelah diundangkannya UU ITE rekaman
pembicaraan tersebut masuk dalam kualifikasi alat bukti elektronik yang sah,
sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Selanjutnya terdapat pemahaman
yang keliru terhadap pengaturan RPP Penyadapan, dalam ketentuan RPP
Penyadapan standar operasional KPK diatur tersendiri dalam undang-undang,
maka secara hirarkie peraturan perundang-undangan, ketentuan peraturan
pemerintah dibawah ketentuan undang-undang, sehingga intersepsi yang
dilakukan oleh KPK kelak tidak harus serta merta tunduk dan patuh terhadap
pengaturan RPP tentang penyadapan.
Adanya fakta hukum tentang pelaksanaan intersepsi yang dilakukan oleh
kepolisian yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang, adapun alasan
yang dijadikan dasar bagi kepolisian adalah penafsiran ekstensif terhadap Pasal 31
ayat (3) UU ITE, dalam hal ini prespektif kepolisian, bahwa pengaturan yang
tercantum dalam UU ITE terkait dengan kewenangan intersepsi adalah lex
specialis, maka dari itu pihak kepolisian menafsirkan bahwa UU ITE
memperbolehkan kepolisian untuk melakukan intersepsi terhadap semua tindak
pidana. Setelah dilakukan penafsiran historis terhadap Pasal 31 ayat (3) UU ITE
tersebut, ternyata maksud dari Pasal tersebut adalah implementasi intersepsi yang
dilakukan kepolisian, kejaksaan dan KPK dikembalikan pada undang-undangnya
masing-masing. Kemudian apabila dikualifisir tindakan kepolisian tersebut adalah
tindakan tanpa hak atau bisa dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum
materiil. Selanjutnya konsekuensi yuridis dari tindakan kepolisian tersebut bisa
dikenakan sanksi pidana, hal ini didasarkan pada penafsiran sistematis terhadap
Pasal 31 ayat (3), bahwa bagi aparat penegak hukum yang melakukan
penyimpangan kewenangan intersepsi, maka konsekuesi yuridisnya adalah
dipersamakan dengan masyarakat biasa yang melakukan intersepsi. Sehingga
tindakan kepolisian tersebut bisa dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang
termuat dalam Pasal sebelumnya yakni Pasal 31 ayat 1 jo Pasal 47 UU ITE.
Demikian tesis ini semoga dapat menjadi bacaan yang bermanfaat dan
menambah pengetahuan di bidang hukum bagi pembacanya.
090810549 | 1358 | Ruang Tesis | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Digudangkan |
Tidak tersedia versi lain